A. Pengertian Atribusi
Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku tertentu. Menurut Myers (1996), kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain. Attribution theory (teori sifat) merupakan posisi tanpa perlu disadari pada saat melakukan sesuatu menyebabkan orang-orang yang sedang menjalani sejumlah tes bisa memastikan apakah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan orang lain dapat merefleksikan sifat-sifat karakteristik yang tersembunyi dalam dirinya, atau hanya berupa reaksi-reaksi yang dipaksakan terhadap situasi tertentu.[1]
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Frizt Heider (1958). Menurut Heider, setiap individu pada dasarnya adalah seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist) yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu. Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian.
Dua fokus perhatian di dalam mencari penyebab suatu kejadian, yakni sesuatu di dalam diri atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena sifat dirinya yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya, dia mencuri karena dipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya yang sakit keras. Bila kita melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan karena sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita telah melakukan atribusi internal (internal attribution). Tetapi jika kita melihat atau menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan situasi tertentu (misalnya mencuri untuk membeli obat) maka kita melakukan atribusi eksternal (external attribution).
Proses atribusi telah menarik perhatian para pakar psikologi sosial dan telah menjadi objek penelitian yang cukup intensif dalam beberapa dekade terakhir. Cikal bakal teori atribusi berkembang dari tulisan Fritz Heider (1958) yang berjudul “Psychology of Interpersonal relations). Dalam tulisan tersebut Heider menggambarkan apa yang disebutnya “native theory of action”, yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang untuk menafsirkan, menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku seseorang. Dalam kerangka kerja ini, konsep intensional (seperti keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba dan tujuan) memainkan peran penting.
Menurut Heider ada dua sumber atribusi tingkah laku: (1). Atribusi internal atau atribusi disposisional. (2). Atribusi eksternal atau atribusi lingkungan. Pada atribusi internal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului tingkah laku). Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi tempat atau lingkungan orang itu berada.
dua teori yang paling menonjol dari segi konsep dan penelitian, yaitu teori inferensi terkait (correspondence inference) dari Jones dan Davis (1965) dan teori ko-variasi Kelley (Kelly’s covarioance Theory) yang dirumuskan oleh Harlod Kelley (1972).
Teori Inferensi Terkait (correspondence inference Theory)
Analisis tentang bagaimana orang menyimpulkan disposisi dari tingkah laku dilakukan oleh Jones and Davis (1965). Mereka melihat putusan-putusan dari intensi sebagai syarat dari putusan-putusan tentang disposisi. Akan tetapi studi lebih diarahkan kepada faktor disposisional. Teori ini dikembangkan oleh Jones and Davis bermula dari asumsi bahwa seseorang mengobservasi perilaku orang lain dan kemudian menarik kesimpulan tentang disposisi kepribadian orang lain tersebut. Dengan kata lain, teori ini membicarakan tentang bagaimana kita menarik kesimpulan tentang sifat kepribadian orang lain melalui observasi terhadap perilaku orang tersebut. Dan sifat kepribadian tersebut (disposisi) diasumsikan keberadaannya stabil pada diri orang itu dan berlaku dari satu situasi ke situasi lainnya.
(Jones & Davies) ada beberapa faktor yang dapat dijadikan faktor untuk menarik kesimpulan tentang apakah suatu perbuatan disebabkan oleh sifat kepribadian atau disebabkan oleh faktor tekanan situasi. Bila diantara ketiga faktor tersebut di bawah ini ada disaat seseorang melakukan suatu perbuatan, maka tindakan orang tersebut disebabkan oleh sifat kepribadian (disposisional) orang tersebut.
1) Non Common Effect : Situasi dimana penyebab dari tindakan yang dilakukan seseorang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh orang pada umumnya. (misal : Seorang pria menikah dengan seorang wanita yang kaya, pintar tetapi tidak cantik dan sudah tua. Sifat-sifat yang tidak umum ini (Tua dan tidak cantik) inilah yang disebut sebagai non common effect. Orang akan segera saja menyimpulkan bahwa pria itu memiliki sifat-sifat kepribadian yang meterialistic. Mengapa demikian? Sebab umumnya pria tidak menyukai menikah dengan wanita yang buruk rupa dan tua usianya. Sebaliknya pria umum menyukai menikah dengan wanita yang elok parasnya, banyak hartanya, muda usianya, sehat tubuhnya dan sebagainya.
2) Freely Choosen Act : Banyak tindakan yang dilakukan oleh orang dikarenakan oleh paksaan situasi. (misalnya: seorang wanita muda harus menikah dengan seorang duda kaya yang berusia tua. Wanita itu menikah karena dipaksa oleh orang tuanya. Dari peristiwa itu, sangatlah sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa wanita tersebut adalah seorang yang materialistik yang mengejar harta si duda. Tetapi kalau dia sendiri yang ingin menikah dengan duda tersebut sedangkan orang tuanya tidak menyarankan maka dengan mudah kita menarik kesimpulan bahwa wanita itu materialistik. Sebab tindakan untuk menikah dengan duda adalah tindakan atas pilihannya sendiri, bukan tekanan situasi.
3) Low Social Desirability (menyimpang dari kebiasaan): Kita akan dengan mudah menarik kesimpulan bahwa seseorang memiliki kepribadian tertentu yang tidak wajar bila orang itu menyimpang dari kebiasaan umum. (misal : Jika seseorang menghadiri upacara kematian biasanya orang harus menujukkan roman muka yang sedih dan berempati pada ahlul duka. Kalau orang yang melayat menujukkan hal yang demikian akan sulit bagi kita unyuk mengatribusikan bahwa orang itu orang yang empatik, karena memang begitulah seharusnya. Tetapi bila orang layat lalu menujukkan kegembiraan dengan tertawa terbahak-bahak di saat orang lain susah, maka mudah untuk kita simpulkan bahwa kepribadian orang tersebut agak kurang beres.
Teori ko-variasi Kelley (Kelley’s covaration Theory)
Harlod Kelley dalam teorinya menjelaskan tentang bagaimana orang menarik kesimpulan tentang “apa yang menjadi sebab” apa yang menjadi dasar seseorang melakukan suatu perbuatan atau memutuskan untuk berbuat dengan cara-cara tertentu. Menurut Kelley ada tiga faktor yang menjadi dasar pertimbangan orang untuk menarik kesimpulan apakah suatu perbuatan atau tindakan itu disebabkan oleh sifat dari dalam diri (disposisi) ataukah disebabkan oleh faktor di luar diri. Pertimbangan tersebut yaitu:
1) Konsensus (consencus): Situasi yang membedakan perilaku seseorang dengan perilaku orang lainnya dalam menghadapi situasi yang sama. Bila seseorang berperilaku sama dengan perilaku orang kebanyakan, maka perilaku orang tersebut memiliki konsensus yang tinggi. Tetapi bila perilaku seseorang tersebut berbeda dengan perilaku kebanyakan orang maka berarti perilaku tersebut memiliki konsensus yang rendah. (misalkan pak Amin adalah penyuka lawakan yang dimainkan oleh group lawakan Srimulat. Setiap menonton pertunjukan Srimulat pak Amin selalu tertawa terpingkal-pingkel dan orang lain pun juga tertawa. Dalam contoh ini dapat kita katakan bahwa perilaku pak Amin dalam hal tertawa menonton lawakan Srimulat berkonsensus tinggi (high consencus). Tetapi bila hanya pak Amin saja yang tertawa sedangkan orang lain tidak tertawa, maka perilaku pak Amin tersebut memiliki konsensus yang rendah.
2) Konsistensi (consistency) adalah sesuatu yang menunjukan sejauh mana perilaku seseorang konsisten (ajeg) dari satu situasi ke situasi lain. Dalam contoh di atas, jika pak Amin selalu tertawa menonton Srimulat pada hari ini atau kapanpun pak Amin menonton Srimulat selalu tertawa, maka perilaku pak Amin tersebut memiliki konsistensi yang tinggi (high consistency). Semakin konsisten perilaku seseorang dari hari ke hari maka semakin tinggi konsistensi perilaku orang tersebut.
3) Keunikan (distinctivenss) menunjukan sejauh mana seseorang bereaksi dengan cara yang sama terhadap stimulus atau peristiwa yang berbeda. Dalam contoh di atas, kalau pak Amin tertawa menonton lawakan Srimulat, juga tertawa menonton lawakan lainnya (lawakan Tukul Arwana, extra vaganza, dll) maka dapat dikatakan perilaku pak Amin memiliki keunikan yang rendah (low distinctivess), tetapi kalau pak Amin hanya tertawa ketika menonton lawakan Srimulat sedangkan terhadap lawakan lainnya pak Amin tidak tertawa, maka perilaku pak Amin memiliki keunikan tinggi (high distictiveness). Mengapa demikian? Karena pak Amin konsisten hanya tertawa pada Srimulat, kepada lawakan lainnya meskipun lucu, pak Amin tidak tertawa.
4) Co-variasi antara ketiga faktor diatas akan menentukan apakah perlaku seseorang akan diatribusikan secara atribusi internal ataukah akan diatribusikan secara ekternal. Perilaku seseorang akan diatribusikan sebagai atribusi internal bila perilaku tersebut memiliki konsensus yang rendah, konsistensi tinggi dan keunikan yang rendah. Perhatikan situasi berikut: saya tertawa menonton srimulat-orang lain tidak tertawa menonton srimulat (konsesnsus rendah), saya selalu tertawa kapanpun saja saya menonton srimulat (konsistensi tinggi), dan saya selalu saja tertawa menonton pertunjukan lawak, tidak hanya dagelan srimulat (keunikan rendah). Menurut anda apa sebab saya tertawa. Apakah karena sifat kepribadian saya yang suka lawakan ataukah karena kecanggihan srimulat yang membuat saya tertawa ?
Dalam situasi yang bagaimanakah orang akan mengatribusikan penyebab perilaku ke atribusi ekternal ? Yaitu bila perilaku tersebut ditandai dengan konsensus yang tinggi, konsistensi tinggi dan keunikan juga tinggi. Mari kita lihat situasi ini : saya tertawa menonton dagelan srimulat orang-orang lain juga tertaa (konsesus tinggi), saya selalu tertawa menonton srimulat kapan saja (konsistensi tinggi), saya hanya tertawa menonton srimulat, kepada lawakan lain saya tidak tertawa (keunikan tinggi).
Apa kira-kira penyebab saya tertawa, apakah karena saya tipe orang yang suka tertawa, ataukah karena memang srimulatnya yang lucu. Dalam situasi demikian ini orang umumnya mengatakan srimulatnyalah yang membuat saya tertawa, karena saya tidak tertawa menonton lawakan lainnya (atribusi ekternal).
B. Distorsi Kognitif
Dalam versi ini, teori atribusi menguraikan proses yang sangat rasional dan pada pokoknya logis. Pada bentuk itu, teori atribusi mengasumsi bahwa orang awam memproses informasi secara rasional, sehingga mereka menilai informasi secara cukup objektif dan demikian pula dalam mengkombinasikannya untuk memperoleh kesimpulan. Kita akan mulai mempertimbangkan berbagai proses kognitif yang berasal dari kecenderungan menanggapi stimuli yang lebih menonjol atau yang merupakan tokoh dibandingkan dengan stimuli latar belakang, dan untuk menyederhanakan persepsi melalui pengembangan kesan yang dirancang dengan penuh arti.[2]
1. Penonjolan
Satu cara kita menyederhanakan pemrosesan kognitif adalah dengan memberikan reaksi terlalu banyak kepada stimuli yang menonjol. Distorsi ini akan mengarahkan kita untuk mengamati stimuli yang paling menonjol sebagai suatu yang sangat berpengaruh. Dengan mulus Taylor dan Fiske (1975) menguji gagasan ini: yakni, apa saja yang nampak menonjol akan terlihat sebagai penyebab yang dominan. Dua pasangannya berlaku sebagai “aktor”. Mereka terlibat dalam sebuah percakapan sambil duduk berhadapan. Para subjek biasa merupakan “pengamat” yang duduk di belakang para pasangan atau di sebelah mereka. Susunan ini digambarkan dalam Gambar 1. Para pasangan melakukan percakapan yang sudah ditentukan selama lima menit, bersenda gurau seakan-akan mereka baru saja bertemu. Mereka saling bertukar informasi tentang recana kerja, kampung halaman, keluarga, dll.
Kemudian para subjek ditanyai tentang persepsi sebab-akibat mereka. Penemuan bahwa penonjolan yang terlihat menyebabkan peranan sebab-akibat seseorang berlebihan, nampaknya sudah menjadi hal umum.
2. Pemberian Atribusi yang berlebihan kepada Disposisi
Salah satu konsekuensi distorsi ini adalah bahwa kita cenderung menjelaskan perilaku orang lain sebagai akibat disposisi yang merupakan ciri kepribadian umum atau sikap mereka, sementara kita cenderung mengabaikan pentingnya situasi di mana mereka berada. Jika kita meminta informasi lewat jendela gedung dan karyawannya nampak bersikap kaku, kasar, dan tidak membantu, maka kita akan menganggapnya orang yang dingin, dan tidak ramah. Kita cenderung menyangkal kenyataan pada saat ia juga bisa berdalih bahwa dia adalah mahasiswa yang tidak dikenal di kampus. Lebih daripada sekedar pribadinya bahwa hal itu barangkali telah menjadi situasi pekerjaannya yang khusus. Yang paling mungkin membuat ia bertindak dengan kasar. Pemberian atribusi secara berlebihan kepada pembawaan, serta terlalu meremehkan situasi boleh dianggap sudah sangat umum sehingga Ross (1977) mengacunya sebagai kekeliruan atribusi fundamental.
3. Aktor lawan pengamat
Para aktor agaknya lebih mengagungkan peranan faktor ekstern. Kedua kelompok secara kausal menjelaskan perilaku yang sama, namun dengan atribusi yang masing-masing berlainan. Contohnya, ada orang tua yang membuat peraturan keras kepada anak-anaknya yang beranjak dewasa, sehingga mereka diijinkan pergi berkencan hanya pada malam minggu saja. Para “pengamat”, anak-anak remaja, sering memandang peraturan tersebut sebagai akibat disposisi mereka sendiri, yaitu: Orang tua yang kejam, otoriter, dan kuno. Para “aktor” sendiri, orang tuanya, sering cenderung mejelaskan perilaku mereka sesuai dengan situasi.
Bagaimana kedua belah pihak menginterpretasikannya jika para remaja berulang kali melanggaat peraturan? Para “pengamat” yang kali ini adalah orang tuanya, menginterpretasikannya berdasarkan disposisi, yakni: Para remaja tersebut suka memberontak, tidak bertanggung jawab, dsb. Para “aktor” kali ini terdiri dari remaja, menginterpretasikan perilaku mereka sendiri sebagai hasil penyebab situasional, yaitu: Pesta yang mereka hadiri menyenangkan sehingga mereka enggan pulang, orang tua tidak memahami mereka, dsb.
4. Distorsi aktor-pengamat
Pengaruh aktor-pengamat dapat dihasilkan semata-mata melalui titik pandang berbeda yang dimiliki aktor dan pengamat. Boleh jadi, masing-masing menjadi lebih penting dalam kondisi yang berlainan. Umumnya, jika faktor historik atau keadaan intern merupakan penentu utama perilaku, maka para aktor mungkin akan menjadi atributor yang lebih akurat. Akan tetapi, jika perilaku sendiri atau keadaan ekaternnya menonjol maka teori perbedaan-perspektif akan lebih sesuai untuk perbedaan atribusi di antara aktor dan pengamat (Monson & Snyder, 1977).
5. Terlampau meremehkan Informasi yang Berdasarkan Konsensus
Salah satu pelindung terhadap kekeliruan atribusi fundamental seharusnya atas dasar konsensus. Dengan konsensus tinggi, kita harus membuat atribusi situasional. Jika kita tahu bahwa hampir setiap orang memberikan respons yang sama kepada suatu kesatuan tertentu dalam konteks tertentu, maka atribusi berdasarkan disposisi akan menjadi tidak tepat. Contohnya jika kita tahu bahwa hampir setiap orang berpikir bahwa ilmu hitung itu sukar, maka kita tidak akan mengatribusikan kesulitan Karman dalam ilmu hitung dengan kemampuan atau usaha yang kurang. Kita pasti akan mengatribusikannya kepada situasi yang sulit.
Akan tetapi, orang cenderung meremehkan penggunaan informasi yang berdasarkan konsensus, kejelasan, dan konsistensi terhadap informasi selalu dipergunakan secara sama. Dari ketiganya, tidak ada yang dipandang lebih informatif dari yang lain.
C. Distorsi Motivasional
Kategori distorsi umum yang kedua akan muncul dari usaha manusia untuk memuaskan kebutuhan serta motivasi mereka sendiri. Manusia mempunyai berbagai kebutuhan lain-seperti mencintai, membalas dendam, harga diri, prestise, materi, dsb. Banyak sekali yang tidak dapat kita nilai seandainya faktor-faktor ini kita abaikan. Dan faktor-faktor tersebut memainkan peranan penting dalam mencapai atribusi sebab-akibat.[3]
1. Distorsi yang Berjalan Sendiri
Distorsi yang berjalan sendiri menggambarkan atribusi yang mengagung-agungkan ego atau mempertahankan penilaian terhadap diri sendiri. Sebagai contoh yang sederhana, kita cenderung mengatribusikan keberhasilan yang kita capai kepada penyebab intern seperti kemampuan kita, kerja keras atau keutamaan lainnya. Kita cenderung menyalahkan kegagalan kita kepada faktor-faktor ekstern seperti nasib buruk, struktur politik yang menekan, dsb.
2. Ilusi Kendali
Orang tidak hanya melihat dunia sebagai lebih teratur dari keadaan sebenarnya. Mereka memutar balikannya ke arah yang lebih dapat dikendalikan. Secara sistematik mereka menilai secara berlebihan kendali mereka atas berbagai peristiwa, dan merendahkan peranan yang bersifat kebetulan atau faktor yang tidak dapat dikendalikan. Secara konsisten orang senantiasa melebih-lebihkan sumbangannya kepada kegiatan gotong-royong.
D. Aplikasi Teori Atribusi
1. Atribusi dan Depresi
Depresi adalah gangguan psikologi yang hampir dialami setiap manusia. Individu yang depresi cenderung mempunyai pikiran yang bertentangan dengan bias mengutamakan diri sendiri. Kalau hasilnya bagus, maka itu merupakan keberhasilan yang didapat dari intervensi orang lain. Namun, jika kegagalan yang terjadi hal itu merupakan kesalahan mutlak dari dirinya sendiri sehingga orang akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki arti dan akhirnya mudah menyerah dalam hidupnya.
2. Atribusi dan Prasangka
Harga sosial yang mesti dibayar ketika mempertanyakan diskriminasi. Misalnya seseorang pada ras minoritas tidak menerima tidak diterima dalam pekerjaan, dia berprasangka bahwa tidak diterimanya dia karena dia berasal dari minoritas. Tetapi, setelah dipikir-pikir lagi, maka akan muncul bahwa dia memang tidak cocok dengan pekerjaan itu dan dia hanya mengeluh saja, dan justru muncul pemikiran negatif kita terhadap orang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Sarwono, Sarlito W., Teori-teori Psikologi Sosial, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Sears, David O., Freedman, Jonathan L., Peplau, L. Anne, Psikologi Sosial, Erlangga, Jakarta, 1985.
Gurungan, W. A., Psikologi Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2004.
Irwanto dkk., Psikologi Umum, Gramedia, Jakarta, 1991.