Semilir angin malam itu membuatnya kedinginan.
Menurutnya tak seperti malam-malam sebelumnya. Namun kedinginannya tetap mampu
membalut keindahan Kota Bandung di malam hari, bak permata berkilauan saling
memanjakan. Jelas, masih terasa ego yang mengalahkan keikhlasannya seminggu yang
lalu. Dan sungguh kerinduan yang terbesit sudah terbayar dengan pertemuan itu.
Ia tengok lima hari yang lalu, di antara mereka tak
saling memberi kabar. Seperti perang dingin antar blok . Sampai suatu ketika ia
kirim tulisan untuk Rama sebagai kecaman.
Aku Seperti Bukan Diriku
Semestinya katakan saja
apa yang menjadi kekuranganku
Bukan dengan kau sulut kecemburuan ini
Dan harusnya aku tak berkata begini
jika kau mengerti
Bukan dengan aku biarkan kau sadari
Apa jadinya jika kepercayaan ini lambat laun terkikis?
Apa jadinya jika status ini sedikit demi sedikit hanya simbol tak
berarti?
Jika kau tahu hatinya selalu ia jaga untukmu
Jika kau tahu perasaan nyeri yang ia rasa karenamu
Apa yang kau tunggu?
Lewat tulisan ini,
semoga kau mengerti.
Tahukah maksudnya apa? Selama seminggu Sinta menahan
kecemburuan itu. Mencoba menghalau namun tetap berujung dengan puncak kekesalan
yang tak pernah ia inginkan.
“Kenapa atuh?” tanya Rama padanya di telepon.
“Baru kali ini aku cemburu begitu terlalu. Sengajakah
engkau membuat aku seperti ini?”kata Sinta sembari kesal.
Dijelaskanlah oleh Rama panjang lebar. Sebab musabab
yang sebenarnya satu sama lain hanya berbeda pada satu pandangan saja. Wajarlah
jika sang kekasih cemburu. Yang tak wajar itu, jika kecemburuannya ia pendam
lama sekali dan suatu saat mencuat ke permukaan karena tak terbendung lagi, seperti
yang terjadi pada Sinta.
Di malam minggu itu ia habiskan makan malam bersama
Rama. Mengingat dan mengevaluasi setiap lika-liku perjalanan mereka. Merasa
lelah sendiri dengan sikap yang salah. Ya, ia sesali penyikapannya terhadap
permasalahan itu. Dimana ia tak mampu mengaplikasikan apa yang selama ini
dipelajarinya.
Ia tak berkaca terhadap pengalaman-pengalaman yang
lalu. Begitu ada permasalahan, seharusnya ia sikapi dengan kepala dingin. Bukan
dengan menjudge begitu saja tanpa
berpikir panjang. Tiada pengamalan keikhlasan disana. Membantai hati Rama tanpa
ia pedulikan Rama yang justru mengalah bersama keikhlasan dan kesabaran. Finally, evaluasi itu membuka mata Sinta
untuk tidak menafsirkan segala sesuatunya dengan tergesa-gesa. Mengingat keihklasan,
kesabaran, dan berpikir positif harus menjadi kunci setiap perjalanan dalam
kehidupannya.
0 komentar:
Posting Komentar